Oleh: Benny E Matindas
BOLEHKAN seorang Minahasa penganut Kristen saat berdoa menyapa Tuhannya “Opo Empung”? Bolehkah ritual gerejani menggunakan pucuk daun tawaang, bolehkah lambang organisasi gereja burung manguni, bolehkah beribadah memakai budaya lama?
Boleh, bahkan semestinya. Asalkan memenuhi syarat. “Boleh”, karena kelirulah mereka yang secara apriori langsung menolak. Dalam hidup sehari-hari kita toh memakai bermacam artifak budaya yang kendati kita nilai tak Kristiani.
Kita dengan bangga memakai celana jeans yang kendati berasal dari budaya wild west yang liar dan ganas. Kita gunakan handphone buah dari budaya kapitalisme yang individualis egois. Kita berbahasa Indonesia yang sarat pengaruh Hindu dan Islam. Kita pun berbahasa Tombulu, Tontemboan, Tonsawang, Ratahan, Tonsea, Toulour, Bantik, Sangihe, Mongondow, warisan budaya leluhur yang dituduh “alifuru” itu.
Dalam konteks ini, mengajukan diktum “anggur baru jangan dimasukkan dalam kantong kulit yang lama” adalah salah kaprah. Karena budaya asli tentu bukan sekadar tempat dituangnya anggur, melainkan harus menjadi akar atau paling sedikit sebagai tanah lahan bagi tanaman buah anggur itu sendiri.
“Semestinya”, karena dengan budaya asli maka ekspresi iman serta ibadat kita jadi lebih otentik. Sehingga secara etika lebih jujur, secara logika lebih bermakna tepat, dan secara estetika lebih mencapai keindahan sublim laksana minyak narwastu paling harum menyirami kaki-Nya, kidung pujian paling merdu naik ke hadirat tahta-Nya.
Kalau tak bisa import anggur untuk Perjamuan Kudus, minumlah saguer yang paling manis hasil tanaman rahmat-Nya di tanah penghidupan eksistensial kita sendiri. Atau dalam kalimat Gustavo Gutierrez sang eksponen Teologi Pembebasan “Kami minum air dari sumur di tanah kita sendiri!” Atau yang lebih lengkapnya, dan lebih hakiki: kita beribadah kepadaNya dengan jatidiri budaya kita yang sejati-jatinya. [Belum lagi bila menghitung bahwa mengimport anggur, entah dari USA atau sekadar dari Malang, merupakan dosa sosial-politikal karena memperlemah neraca perdagangan nasional ataupun regional dengan segala dampak akibatnya bagi rakyat.]
Apalagi nilai-nilai budaya yang dihidupkan orang Minahasa kini sangat minim otentitas. Tanpa akar. Tanpa jangkar. Masyarakatnya jadi begitu gampang dihanyutkan arus mode konsumtif berikut segala akibatnya yang parah dalam hal moral, iman, sampai soal ketahanan ekonomi dan masalah kesehatan.
Boleh mengandalkan budaya tua, bahkan semestinya, asalkan benar! Artinya tidak semua yang atas nama “budaya asli” boleh diambil begitu saja. Soal kebudayaan, sebagaimana agama [Clifford Geertz bahkan tidak melihat agama selain sebagai sebuah sistem budaya], adalah soal kebenaran.
Di dasar kebudayaan, sebagaimana ajaran agama maupun ajaran apapun, adalah konsepsi yang dipersoalkan nilai benarnya, kurang benar, ataukah salah. Apakah nilai budaya suatu masyarakat benar mengutamakan kebaikan yang memperanakkan pelbagai nilai kebajikan sehingga setiap warganya akan tumbuh unggul, cerdas, produktif, koperatif, pembawa damai, pembawa terang.
Tidak semua budaya warisan leluhur itu bernilai luhur. Hasil penelitian Ruth Benedict – dipapar dalam bukunya Pola-Pola Kebudayaan (1934) yang sangat sohor – ada sejumlah suku bangsa yang sedari dasarnya menjunjung nilai budaya khianat serta kemunafikan.
Menurut Jappy Tambajong (Remy Sylado) budaya memuis (memancung kepala orang) buat suatu ritual tertentu di Minahasa, bahkan sudah di masa Kristen, gereja hanya mampu membujuk jumlahnya diturunkan dari 36 kepala menjadi 9 kepala.
Mereka begitu kuat mencintai budaya saling bantai, dan itu jelas bertentangan dengan nilai utama Kristen yang saling cinta sesama.
Salahsatu faktor besar yang menjadi akar sebab Perang Tondano ialah permusuhan yang memang sudah lama berkembang antara Walak Tondano dan penguasa kolonial Belanda, dan salah satu penyebab awal permusuhan tersebut ialah penolakan keras oleh orang Tondano terhadap Verdrag yang diundangkan pemerintah kolonial Belanda pada 10 September 1699.
Tapi apa isi verdrag yang ditentang mereka itu? Salahsatunya yaitu aturan baru dari pemerintah untuk menghapus tradisi budaya “tok-token” yang tak lain adalah mencincang sampai kecil-kecil tubuh orang yang terbukti mengkhianati persatuan dan kepentingan walak.
Satu lagi syarat kebenaran, yakni mutlaknya kita mewaspadai anasir iblis yang menunggangi budaya manusia. Sebagaimana hasil penelitian Prof. Frazer dan Tylor, praktik mistik dan magik sebagai iptek-nya masyarakat primitif yang nalarnya belum berkembang, yang semula dikaruniakan Tuhan buat penghidupan umat, tapi kemudian jadi andalan orang-orang malas, syirik dan fasik, sehingga bergeser fungsi jadi sarana kemusyrikan yang amat dimurkai Allah.
Iblis memang bapak segala pembohong. Yang penting tiliklah buahnya. Apakah berbuah-buah kecerdasan, menjadi lebih sehat, lebih bertanggung jawab, lebih aktif beramal kasih, lebih cinta damai, ataukah sebaliknya. Taintu té.(*)