MANADO, mejahijau.com – Temui konstituen di Sulawesi Utara, Anggota Dewan Pertimbangan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) Benny Rhamdani disuguhi sejumlah permasalahan yang sedang dihadapi negara Indonesia.
Pertemuan diikuti sejumlah akademisi, tokoh agama, politisi, aktivis LSM, serta insan pers itu, digelar di Wanea Plasa Manado, Minggu (28/10/2018).
Menanggapi berbagai persoalan yang tengah dihadapi bangsa ini, Senator Benny Rhamdani mengakui kalau bangsa Indonesia tengah diperhadapkan dengan persoalan multidimensi yang cukup pelik.
“Agama terkesan dibentur-benturkan sehingga potensi memunculkan konflik, itu salah satu dari berbagai persoalan yang sedang dihadapi bangsa ini,” katanya.
Lanjut dikatakan, di antara tokoh-tokoh masyarakat banyak yang cenderung suka bicara pentingnya hidup rukun dan damai dalam keberagaman. Namun kenyataan tak sesuai dengan apa yang diucapkannya.
“Banyak tokoh agama cenderung tampil bicara atas nama agama. Tetapi ketika dia kembali bergabung dengan komunitasnya, dia menjadi provokator lagi,” ungkapnya.
Oleh karenanya, lanjut Rhamdani, untuk menghadapi persoalan yang satu ini diperlukan sikap yang serius.
“Sangat diperlukan kejujuran dan ketulusan mengurusnya,” tegasnya.
Dia mencontoh pluralisme di Indonesia dari sosok Henk Ngantung asal Manado saat menjabat Gubernur DKI Jakarta. Pada masa Gubernur Henk Ngantung, di Jakarta tidak ada penolakan, tidak ada protes, dan tidak ada demo besar-besaran.
Pentolan PDIP Sulut ini mengatrol persoalan agama ke tingkat yang lebih tinggi, artinya agama telah dijadikan mainan oleh negara barat terutama Amerika Serikat.
Ketua Bidang Pimpinan DPP Partai Hanura ini mengurai, pasca perang dingin yang diikuti runtuhnya blok komunis, praktis Amerika Serikat tak mempunyai musuh lagi.
“Jadi untuk menciptakan musuh baru demi kepentingan bisnis jual-beli senjatanya, Amerika Serikat melirik ‘boneka’ baru, yaitu ISIS yang sama sekali bukan musuh kita,” katanya.
Selain itu, Rhamdani juga menyitir mengenai kondisi perekonomian, hukum, birokrasi, militer, sumbr daya alam pada pemerintahan Presiden Joko Widodo.
“Pemerintahan Joko Widodo jauh lebih baik, dan itu terbukti ketika Freeport diambil alih pemerintah RI. Dan itu tidak dilakukan pada pemerintahan sebelumnya,” katanya.
Dia menyayangkan International Hub Port (IHP) di Kota Bitung yang sudah diperjuangkan begitu gigih namun hingga kini belum terealisasi.
Sementara Freddy Ruru pada kesempatan bicara menyebutkan betapa ruginya Sulut dengan tak terealisasinya IHP Kota Bitung.
“China dapat saya jadikan contoh, dimana jarak tempuh dari Pelabuhan Tanjung Priuk sejauh 4 ribuan kilometer, sementara kalau dari Bitung hanya 3 ribuan kilometer. Berarti selisihnya 1000-an kilometer. Dan Shanghai China salah satu pusat perdagangan dunia yang sangat potensial,” ucapnya.
Perlu diketahui, lanjut Freddy, potensi komoditas unggulan asal Sulut sangat dibutuhkan negara tersebut.
“Cuma tidak ada kemampuan para legislator asal Sulut memperjuangkannya kepada pemerintah pusat. Olehnya dibutuhkan legislator mumpuni yang dapat menggolkan kepentingan dimaksud,” cetusnya.
Hadir Ketua Komunitas Gerakan Anti Separatis Sulut, Marco Maramis SE yang menegaskan, untuk memperjuangkan sejumlah kepentingan daerah dibutuhkan tokoh-tokoh yang berkualitas.
“Dan kualitas Benny Rhamdani benar-benar sudah teruji. Hemat saya, dia satu-satunya Calon Legislatif yang mampu memperjuangkan egoisme daerah kita,” kata Maramis.
Menurutnya kondisi negara yang kini rawan oleh karena masalah yang cukup kompleks, dibutuhkan figur yang memiliki kualitas, dan sosok berwawasan ketahanan nasional yang berbasis pluralisme.
Pertemuan dialog dipandu Karel Nayoan, dihadir akademisi Unsrat Max Rembang, Ferry Laindo, Welly Areros, juga tokoh agama Dr Richard Siwu PhD, Ketua PWI Sulut Vouke Lontaan, aktivis Pers Friko Poli, Rizal Layuk, Fanny Waworundeng, dan sederet tokoh lainnya.(vanny)