MANADO, mejahijau.com – Dari sekitar 87.000 kasus pembunuhan perempuan di seluruh dunia pada tahun 2017, 58 persen atau 50.000 perempuan merupakan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) atau anggota keluarga mereka sendiri.
Jumlah itu setara dengan 137 perempuan tewas per hari atau hampir enam orang terbunuh setiap jam di rumah sendiri, oleh orang yang mereka kenal dan semestinya bisa dipercaya.
Demikian ringkasan laporan studi baru yang dihelat entitas Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC).
Laporan berjudul Femicide Report 2018 ini tercakup dalam studi baru bertajuk Gender-related Killing of Women and Girls yang merupakan bagian dari studi global tentang pembunuhan.
Studi baru dirilis pada Minggu (25/11/2018), bertepatan Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan atau International Day for the Elimination of Violence Against Women, suatu kampanye untuk meningkatkan kesadaran tentang kekerasan berbasis gender dan prevalensi global.
Untuk penelitian, laporan UNODC menganalisis data-data pembunuhan perempuan terkait tindakan kekerasan dan femicide khususnya di ranah domestik.
Femicide merupakan istilah untuk pembunuhan perempuan terkait gender—karena mereka perempuan—, yang dilakukan oleh laki-laki terdekat seperti suami, pacar, mantan pacar suami, atau anggota keluarga lainnya semisal ayah, paman, saudara, dan sebagainya.
Penyebab femicide beraneka-ragam, tergantung pelaku serta motifnya. Di Indonesia, suami paling sering melakukan KDRT disertai pembunuhan; sedangkan kekerasan oleh pasangan intim yang tidak terikat, contohnya menghindari tanggung jawab menghamili atau perkosaan berujung pembunuhan.
Selain itu, femicide oleh keluarga umumnya bermotif menyelamatkan kehormatan karena perempuan dianggap mempermalukan atau mencoreng nama baik keluarga.
Misalnya dibunuh akibat berhubungan seksual atau hamil luar nikah, diperkosa; atau di India, anak perempuan bisa dibunuh ayahnya jika menentang tradisi yang mengharuskan menikah dengan sesama orang India.
Lebih lanjut, laporan UNODC menemukan pembunuhan perempuan oleh pasangan intim atau keluarga meningkat lebih dari 10 persen sejak tahun 2012.
Secara global, tingkat tertinggi kasus femicide ditemukan di Afrika (3,1 pembunuhan per 100.000 perempuan) dan Amerika (1,6).
Di Asia, walaupun tingkat femicide-nya relatif rendah (0,9 pembunuhan per 100.000 perempuan), jumlah pembunuhan perempuan pada 2017 justru tertinggi sebanyak 20.000 kasus.
Laporan tersebut juga menemukan, meskipun lebih banyak korban pembunuhan laki-laki dibanding perempuan di seluruh dunia, kebanyakan dilakukan orang asing. Perempuan jauh lebih mungkin meninggal akibat kekerasan domestik daripada laki-laki.
Berdasarkan penelitian, 82 persen perempuan dibunuh oleh pasangan intimnya atau mantan, dan cuma 18 persen korban laki-laki. Lebih dari 30.000 kematian akibat KDRT.
Sementara pada kasus pembunuhan yang melibatkan anggota keluarga, 64 persen korban adalah perempuan, dan 36 persen adalah laki-laki.
Mirisnya lagi, laporan UNODC memaparkan kekerasan terhadap perempuan hampir secara universal tidak dilaporkan kepada pihak berwenang.
Penyebab keengganan beraneka ragam, diantaranya ketakutan akan pembalasan, ketergantungan ekonomi, dan psikologis, hingga antisipasi ketidakpercayaan andai polisi tidak menganggap serius tuduhan atau melihat bentuk serangan sebagai masalah pribadi.
Para ahli menilai pembunuhan perempuan bermotif femicide ini sangat tidak proporsional dan terlampau kejam.
“Perempuan tetap membayar harga tertinggi sebagai akibat dari ketidaksetaraan gender, diskriminasi, dan stereotip negatif,” ujar Direktur Eksekutif UNODC, Yury Fedotov kepada laman AFP.
Menurut Fedotov, kekerasan terhadap perempuan lebih tinggi ketimbang lelaki ini mengindikasikan “ketidakseimbangan dalam hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki di dalam lingkup domestik.”
Jean-Luc Lemahieu, direktur analisis kebijakan dan informasi publik UNODC, mengatakan, pembunuhan domestik adalah akhir tragis dari siklus pelecehan dan kekerasan.
“Ketika seorang perempuan kehilangan hidupnya, itu bukan tanpa prediksi,- Anda melihat insiden kekerasan verbal dan lainnya. Polanya sudah terbentuk jauh sebelum pembunuhan terjadi,” jelas Lemahieu kepada Washington Post.
Ia menekankan bahwa kematian semacam ini seharusnya bisa dicegah sebelum terjadi.
“Kita perlu memperbaiki sistem peradilan sehingga perempuan merasa nyaman melapor, bahwa mereka didengar, dan ada implikasi hukum terhadap para pelaku,” tandasnya.
Sependapat, Kiersten Stewart, Direktur Kebijakan Publik dan Advokasi untuk kelompok anti-kekerasan Futures without Violence. Stewart menambahkan, upaya perbaikan sistem peradilan tentu bervariasi, tergantung pada tantangan masing-masing negara.
Ia mencontohkan di AS, tantangan terbesar adalah kepemilikan senjata. Satu studi mengungkapkan bahwa kehadiran senjata membuat perempuan 5 kali lebih mungkin mati ditembak akibat KDRT.
“Kenyataannya kekerasan domestik adalah tentang kekuasaan dan kontrol, tetapi ada hal-hal yang dapat melindungi seperti membatasi akses ke senjata api dan menerapkan layanan kesehatan mental,” tutur Rachel Goldsmith, Wakil Presiden Pusat Kekerasan Domestik di Safe Horizon.
Intinya, sambung Stewart, perbaikan apa pun akan membutuhkan penanggulangan akar penyebab kekerasan. Terutama memperbaiki ketidaksetaraan gender dan norma sosial yang sudah berlangsung lama.
“Inti dari mengakhiri kekerasan itu mengubah perilaku laki-laki. Itulah tantangan yang telah mendorong begitu banyak lelaki muda melakukan kekerasan dan berpikir itu bagian dari menjadi seorang laki-laki,” pungkasnya.(varsou/vanny)