MANADO, mejahijau.com – Sikap pejabat Negara Indonesia Timur (NIT) yang plin-plan menjadi penyebab sehingga Putra Bantik Robert Wolter Mongisidi tetap menjalani eksekusi mati.
Harimau asal Malalayang ini harus tetap mati. Ia menjalani eksekusi tembak mati oleh tentara Belanda.
Bote sapaan akrabnya, salah satu pejuang gigih. Tanpa kenal takut ia menentang pemerintah Kolonial Belanda.
Bote lahir di Malalayang, Manado, Sulawesi Utara, 14 Februari 1925, dan dieksekusi mati 5 September 1949 di Pacinang, Makassar, Sulawesi Selatan.
Lelaki pemberani ini pejuang kemerdekaan Indonesia. Terbilang dia mati muda pada usia ke 24 tahun, dan dianugerahi pahlawan nasional oleh pemerintah Indonesia.
Semasa hidupnya, Maulwi Saelan terlihat geram jika membahas kematian sahabatnya itu. Bagi dia, nyawa Bote masih dapat terselamatkan andai para pejabat NIT (Negara Indonesia Timur) mengajukan permohonan amnesti kepada Ratu Juliana di Den Haag, Belanda.
“Nyatanya mereka tidak pernah memiliki niat baik itu karena bagi para pejabat NIT, Bote tak lebih sebagai penjahat biasa yang harus dienyahkan,” ungkapnya Maulwi Saelan kepada Historia.
Wolter ditembak mati oleh tim eksekusi dari Polisi Militer Belanda di sebuah lapangan di wilayah Tello, Makassar tepat 70 tahun silam.
Sebelumnya pengadilan militer yang dipimpin Hakim Mr Dr B. Damen meluluskan tuntutan tim oditur militer untuk memberikan vonis mati kepada Putra Bantik ini.
Di hadapan Hakim Mr Dr B Damen, Robert Wolter Mongisidi dituduh Oditur Militer, bahwa sejak 17 Juli 1947 sampai 28 Februari 1947 telah melakukan tindakan makar, memeras, merampok, memberontak, melakukan kejahatan bersenjata, serta berkali-kali melakukan pembunuhan.
Olehnya Bote diancam hukuman mati. Semua tuduhan yang ditimpahkan diakuinya. Bahkan dia bersedia menjadi saksi atas pengadilan terhadap teman-temannya. Keksatriaan Bote yang tak dimiliki pejuang lain, dia bersedia bertanggungjawab semua perbuatan rekan-rekan seperjuangan dengan penegasan semua berdasarkan perintahnya.
“Dia dipersalahkan telah melakukan pembunuhan dan aksi teror sepanjang “zaman bersiap”,” kata A.H Nasution dalam buku Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid X.
PEMUDA PEMBERANI
Kisah diburunya Wolter sebagai penjahat oleh militer Belanda di Makassar, bermula dari aksi-aksi nekadnya yang kerap bikin militer Belanda kalang kabut.
Sebagai komandan kelompok Harimau Indonesia (bagian dari LAPRIS, Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi), Wolter tak pernah kenal kata mundur jika terjadi bentrok dengan militer Belanda.
Ketika terjadi pertempuran besar di wilayah Kasi-Kasi pada 23 Juli 1947, pasukan Belanda nyaris menghabisi para pejuang LAPRIS.
Tercatat 16 pejuang gugur dan puluhan lainnya luka-luka hingga harus diselamatkankan ke garis belakang.
Namun alih-alih mengikuti gerak mundur kawan-kawannya, grup Harimau Indonesia pimpinan Wolter malah menyelinap masuk kota.
“Tujuannya memukul kembali musuh dan membunuh para serdadu sebanyak mungkin untuk membalas kekalahan yang dideritanya,” ungkap Saelan dalam Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66.
Saelan juga menjadi saksi bagaimana suatu hari Wolter dengan mengendarai sebuah Jip berhasil merampas dari seorang perwira Belanda, nekad memasuki markas Belanda dan menghamburi mereka dengan peluru.
Akibatnya banyak serdadu Belanda yang tewas dan luka-luka.
“Makanya wajar jika sepakterjang Bote terus menerus diamati oleh intelijen Belanda,” tutur Saelan.
Sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya dia terjatuh jua. Pada 28 Februari 1949, Wolter berhasil disergap puluhan polisi dan tentara Belanda di Gedung SMP Nasional.
Begitu tertangkap, kedua tangannya langsung diborgol dan kedua kakinya dirantai. Usai mengalami penyiksaan hebat, Wolter diisolasi di suatu sel di KIS Kampement, tempat yang pernah dia serbu.
Nyaris setiap hari, Wolter diinterogasi. Kendati mendapat penyiksaan dasyat, dia tak pernah sepatah kata pun “bernyanyi”.
Kepada para interogator, dia menyatakan bahwa semua tindakan pasukannya merupakan tanggungjawabnya. Singkatnya, ia mengaku sebagai pelaku utama dalam setiap aksi penyerangan terhadap militer Belanda di Makassar.
Pihak Belanda pun akhirnya menyerah. Pada 26 Maret 1949, palu hakim memutuskan Wolter bersalah dan harus menghadapi regu tembak.
SUATU KEKASALAHAN
Begitu vonis mati ditetapkan, semua sanak keluarga dan kawan-kawan Wolter tak tinggal diam. Sang ayah Petrus Mongisidi langsung terbang dari Manado dan berupaya meminta grasi untuk Wolter.
Begitu juga para tokoh masyarakat dan partai-partai politik memintakan keringanan hukuman bagi Wolter kepada pemerintah NIT.
Alih-alih dikabulkan, permohonan tersebut malah kandas. Baik Presiden Tjokorde Soekawati, Perdana Menteri Anak Agung Gde Agung maupun Menteri Kehakiman Dr. Soumokil menolak mentah-mentah permohonan tersebut.
Mereka sepenuhnya menganggap kasus Wolter tak lebih sebagai kasus kriminal biasa yang memang harus mendapat ganjaran setimpal.
“Ini membuktikan NIT yang dipimpin oleh mereka tak lebih sebagai negara bonekanya Belanda,” sergah Saelan.
Menurut Nasution, pemerintah Republik Indonesia sangat menyesalkan keputusan NIT. Hukuman mati tersebut dianggap menodai semangat persetujuan politik yang justru harus melenyapkan rasa dendam kedua pihak.
“Seolah-olah mereka mengabaikan begitu saja perundingan yang sedang berlangsung mengenai pembebasan para pejuang yang mereka tahan, yang telah sama-sama disetujui akan dilepaskan selekas mungkin,” nilai Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid XI.
Wolter sendiri tak pernah menulis atau mengeluarkan kata-kata yang mengarah kepada permintaan ampun kepada pemerintah NIT dan pemerintah Belanda.
Dia sepenuhnya yakin bahwa kematian dirinya adalah untuk sebuah keyakinan yang benar, sesuai kata-kata terakhirnya yang dia tulis dalam secarik kertas sebelum peluru tajam menghujam tubuhnya: “Setia Hingga Akhir Dalam Keyakinan”.
Kepada kawan-kawan seperjuangannya, Wolter pun masih sempat menuliskan pesan dalam sepucuk surat: ”Dengan bantuan Tuhan, aku menjalani hukuman mati ini. Aku tidak mempunyai rasa dendam kepada siapapun, juga tidak kepada mereka yang menjatuhkan hukuman mati ini. Tetapi aku yakin, segala pengorbanan, air mata dan darah para pemuda kita akan menjadi pedoman yang kuat untuk tanah air Indonesia yang kita cintai ini.”’ (arya/berbagai sumber)