TONDANO, mejahijau.com – Pemerhati adat dan budaya Minahasa, Fendy Parengkuan mengutarakan, jauh sebelum hukum positif berlaku seperti yang dikenal sekarang, Tou (bangsa) Minahasa telah mengenal hukum adat tanah Kalakeran yang berarti banyak. Pengertiannya tanah milik bersama dari sebuah komunitas.
Fendy Parengkuan yang juga tokoh adat Minahasa memaparkan, ada tiga jenis tanah Kelakeran, yaitu:
1. Tana’ Kalakeran ne Walak (setingkat kecamatan)
2. Tana’ Kalakeran ne Wanua (setingkat desa/kelurahan)
3. Tana’ Kalakeran ne Taranak (rukun keluarga besar).
Karena tanah itu merupakan milik bersama, kata Parengkuan, ada orang beranggapan bisa saja membuka usaha atau kegiatan pertanian.
Namun menurut adat dulu, lanjut dia, tanah tersebut tidak bisa dikelola sebelum dapat izin dari kepala walak. Dan kalau sudah diberi izin, maka tanah tersebut baru bisa mengelola.
Itu pun, kata Parengkuan, pada waktu baru mau membangun secara adat tidak bisa serta merta. Harus lebih dulu melalui perantaraan Walian yang akan berdoa mencari lokasi yang cocok untuk dibuka.
“Begitu terus berlanjut, jadi dengan kata lain tidak ada orang yang bisa membuka tanah tanpa ada izin kepala pemerintahan setempat termasuk kepala keluarga besar taranak,” jelas Parengkuan.
Aturan ini, kata dia, sudah berlangsung dari zaman dahulu namun tiba-tiba tahun 1877 keluar yang namanya domein verklaring, disitu menentukan semua status tanah yang tidak jelas pemiliknya dan dinyatakan sebagai tanah negara.
“Ini menimbulkan keresahan masyarakat karena orang Minahasa tidak mengenal yang namanya tanah milik pribadi. Padahal hukum Eropa mengharuskan adanya tanah milik pribadi karena domain verklare ini membuka jalan bagi pengusaha Eropa untuk memiliki Hak Guna Usaha (HGU) di tanah Minahasa,” tandasnya.
Penguasaan Eropa, lanjut Parengkuan, awalnya dimulai dari membuka lahan perkebunan besar-besaran, seperti karet, kopi, kelapa.
Jadi dengan kata lain, sebenarnya itu membuka peluang kepada pengusaha Eropa, dan di satu sisi mengancam hukum tanah adat masyarakat Minahasa.
Untuk antisipasi hal tersebut, masyarakat Minahasa mengantisipasi dengan dua (2) cara, yakni, pembagian dan daftarkan tanah-tanah tersebut, dan kalau tak sempat didaftarkan dan tidak menjadi tanah negara, maka didaftarkan sebagai tanah yang dikuasai oleh Kepala Walak atau Hukumtua pada masa itu.
Nah sekarang, beber dia, bagaimana tanah tanah yang sudah keluar dengan istilah tanah pasini yang berasal dari kata asing, paasini yang artinya yang diusahakan oleh yang di menej oleh keluarga, itu sudah mulai berlaku sejak 1877 sampai pada saat ini. Dan tanah pasini artinya tanah yang sudah menjadi milik pribadi.
“Sampe saat ini, di surat tanah disebutkan tanah pasini, karena tanah sudah dikuasai oleh keluarga, dan itu sudah sah untuk mengurus akte tanah,” paparnya.
Kemudian ada aturan lain, yakni aturan untuk mengolah jangan sampai ada orang masuk atau serobot. Pada abad 19 atau pada tahun 1812, Inggris membangun Kota Tondano. Dan ada rencana untuk menentukan bagian setiap kampung dan lokasi pertanian untuk lahan kering atau ladang lokasi tempat pertanian untuk lahan basah (sawah). Dan itu tak sempat dilaksanakan karena Inggris hanya sekira 7 tahun berada di Tondano.
“Nanti kemudian baru dilaksanakan membangun Tondano pada masa Pemerintah Kolonial Belanda yaitu sejak 1860 ke atas dimana ada petugas terkenal dari Belanda khusus mengurus soal tanah sehingga Tondano dan sekitarnya Kakas, Remboken, Langowan dan lainnya terus berkembang hingga saat ini,” pungkas Parengkuan sembari menceritakan kisah lanjutan terkait tanah adat Minahasa.(ferry lesar)