JAKARTA, mejahijau.com – Keluarga Raymond Luntungan ST yang diduga korban kriminalisasi dalam kasus korupsi proyek Hibah Air Minum Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) di Kota Bitung.
Fakta-fakta kriminalisasi terhadap Dirut PDAM Bitung dibeberkan oleh keluarga korban di Komnas HAM.
Proses penyelidikan dan penyidikan hingga penahanan Raymond Luntungan ST selaku Direktur PDAM Dua Sudara oleh sejumlah oknum kepolisian di Unit II, Subdit Tindak Pidana Korupsi, Direktorat Reserse dan Kriminal Khusus, Polda Sulawesi Utara (Sulut).
Penetapan tersangka Raymond Luntungan yang dinilai banyak kejanggalan, akhrnya pihak keluarga korban mendatangi Komnas HAM RI, Jumat sore, 20 Mei 2022.
Kedatangan Lolita Rombang (istri korban) dan Deetje Tumundo (ibu kandung korban), guna menyampaikan permohonan perlindungan hukum terhadap Raymond Luntungan yang diduga kuat korban rekayasa kasus.
Keduanya diterima Sekertariat Komnas HAM, dan keluarga korban langsung menyampaikan fakta-fakta dugaan kriminalisasi dan rekayasa dalam proses penyelidikan dan penyidikan hingga proses penahanan Raymond Luntungan ST.
Usai melapor di Komnas HAM RI, kepada sejumlah media keduanya membeberkan data-data, bahwa penahanan sejak tanggal 14 Februari 2022 oleh penyidik Unit II Tipikor Polda Sulut, keluarga korban meyakini Raymond Luntungan menjadi korban kriminalisasi dan rekayasa hukum.
Lanjut Lolita dan Deetje Tumundo, berdasarkan data, fakta, dan bukti-bukti yang ada pada keluarga sudah diserahkan kepada penyidik. Di situ secara jelas menyebutkan bahwa anggaran Rp 14 miliar pada kegiatan program hibah air minum dari Kementerian PUPR kepada Pemerintah Kota Bitung, sepersen pun tak pernah masuk ke rekening PDAM Kota Bitung.
Anggaran yang sudah dinyatakan sebagai kerugian keuangan negara (total lost) ini hanya masuk dan tertahan di rekening kas daerah Kota Bitung.
“Jadi, faktanya PDAM Kota Bitung hanya menerima dana/anggaran Penyertaan Modal dari Pemerintah Kota Bitung tahun anggaran 2017 dan 2018 senilai Rp 15 miliar. Selain itu PDAM Kota Bitung tidak pernah menerima anggaran dari kegiatan proyek yang diduga telah merugikan keuangan negara,” jelas Lolita, istri korban.
Lanjut dia, proses penggunaan anggaran penyertaan modal Pemkot Bitung tahun anggaran 2017-2018, ada pengawasan, dan pemantauan oleh tim BPKP Perwakilan Sulut sebagai pendampingan atas kegiatan proyek tersebut.
Terbukti hasil review serta verifikasi BPKP Perwakilan Sulut dinyatakan dana penyertaan modal tak ada masalah dan (terpakai) selesai 100 persen.
Hal itu diperkuat hasil audit dan pemeriksaan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) yang mengeluarkan opini, bahwa kinerja PDAM Kota Bitung WTP (Wajar Tanpa Pengecualian).
Fakta-fakta yang diuraikan itu, jelas Lolita, aliran dana hibah Rp14 miliar yang disangkakan kepada Raymond sangat dipaksakan karena tak bersentuhan dengan peran dan fungsinya selaku Direktur Utama PDAM Dua Sudara, Kota Bitung.
“Dana Rp 14 miliar itu masuk ke kas daerah Pemkot Bitung, bukan ke rekening PDAM. Dana yang masuk ke rekening PDAM hanya Dana Penyertaan Modal senilai Rp 15 miliar, sehingga salah dan sangat keliru jika kerugian yang dinyatakan Tim Audit Investigasi BPKP sebagai kerugian negara lalu ditimpahkan kepada Raymond Luntungan,” jelas Lolita bahwa dana yang disangkakan kepada suaminya tak pernah masuk ke kas PDAM.
Kajian dari Konsultan Profesional di bidang Keuangan Negara dan juga Ahli Air Minum, membuktikan bahwa, tuduhan total lost sama sekali tak berdasar. Begitu juga tuduhan idle capacity tidak sesuai dengan data di lapangan.
“Untuk itu, kami mencari keadilan dan akan berusaha sampai ke mana pun, termasuk hari ini (Jumat) kami menghadap Komnas HAM. Kami yakin Komnas HAM sebagai lembaga perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia dapat memberi jalan keluar untuk problem kriminalisasi yang kami alami,” sambung Deetje, ibu kandung Raymond Luntungan yang menjadi korban dugaan kriminalisasi oleh penyidik Polda Sulut.(*/tim redaksi)