JAKARTA, mejahijau.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengintensifkan peran whistleblower system dalam menguak sejumlah kasus korupsi di Indonesia.
Mekanisme pelapor korupsi itu secara resmi mulai dioperasionalkan di Kota Bekasi menandai peringatan Hari Antikorupsi Internasional 9 Desember 2018.
Ketua KPK Agus Raharjo mengatakan, sistem pelaporan dapat melalui sejumlah instrumen penegakan hukum yang disediakan negara, seperti Kejaksaan Agung, Polri, KPK, dan Ombudsman. Pokoknya sesuai tingkatan kasus yang ingin diselesaikan.
Whistleblowing System diyakini Agus Rahardjo sebagai langkah pencegahan yang cukup efektif. Semua pihak diajak aktif berpartisipasi melaporkan temuannya kasus korupsi sebagai upaya pencegahan.
“Whistleblower system ini memanfaatkan orang dari internal maupun masyarakat dari luar untuk memberikan laporan kepada kami. Ini kontrol yang baik sekali,” ungkap Agus.
Pada 17 September 2018, Presiden Joko Widodo mensahkan Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 2018 tentang tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sesuai peraturan tersebut, masyarakat yang memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai dugaan korupsi akan mendapatkan penghargaan dalam bentuk piagam dan premi yang besarannya maksimal Rp200 juta.
Ada syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan hadiah dalam jumlah maksimal. Pasal 17 ayat (1) PP 43/2018 menyebut, besaran premi diberikan sebesar dua permil (0,2 persen) dari jumlah kerugian keuangan negara yang dapat dikembalikan kepada negara.
Untuk mendapatkan hadiah maksimal Rp200 juta, kasus yang dilaporkan adalah kasus korupsi yang kerugian negaranya mencapai Rp100 miliar.
Adapun kasus suap besar premi yang diberikan sebesar dua permil dari nilai uang suap dan-atau uang dari hasil lelang barang rampasan, dengan nilai maksimal hanya Rp10 juta.
Dalam PP itu juga disebutkan, setiap pelapor kasus korupsi yang menerima penghargaan harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan pemerintah. Salah satunya, mendapat penilaian dari penegak hukum.
Penegak hukum akan melakukan penilaian terhadap tingkat kebenaran laporan yang disampaikan oleh pelapor dalam upaya pemberantasan atau pengungkapan tindak pidana korupsi.
Penilaian itu dilakukan dalam waktu paling lama 30 hari kerja terhitung sejak salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterima oleh jaksa.
Dalam memberikan penilaian, penegak hukum mempertimbangkan peran aktif pelapor dalam mengungkap tindak pidana korupsi, kualitas data laporan atau alat bukti, dan risiko bagi pelapor.
Pemberian informasi kepada penegak hukum dapat berbentuk laporan tertulis atau lisan, baik melalui media elektronik maupun nonelektronik.
Laporan mengenai dugaan korupsi harus sedikit memuat identitas pelapor dan uraian mengenai fakta tentang dugaan telah terjadi korupsi. Pelapor juga wajib melampirkan fotokopi KTP atau identitas diri lain dan dokumen atau keterangan terkait tindak pidana korupsi yang dilaporkan.
Selain itu, elapor juga berhak mendapatkan perlindungan hukum dari negara. Hadiah bagi warga yang melaporkan atas tindakan korupsi sebenarnya sudah ada melalui Peraturan Pemerintah nomor 71 tahun 2000 tentang tata cara pelaksana peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Peraturan itu, setiap orang, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat yang telah berjasa dalam usaha membantu upaya pencegahan atau pemberantasan tindak pidana korupsi berhak mendapat penghargaan.
Penghargaan dapat berupa piagam atau premi. Besar premi ditetapkan paling banyak sebesar 2 dua permil (perseribu) dari nilai kerugian keuangan negara yang dikembalikan.
Piagam diberikan kepada pelapor setelah perkara dilimpahkan ke Pengadilan Negeri. Adapun premi diberikan kepada pelapor setelah putusan pengadilan yang memidana terdakwa memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pekerjaan rumahnya adalah eksekusi dari pelaporan itu. Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko mengatakan, pelaporan kasus korupsi diprediksi meningkat setelah adanya imbalan Rp200 juta bagi pelapor, meski belum tentu diiringi dengan proses eksekusinya.
Penanganan perkara, kata Dadang, seringkali tersendat karena kurangnya pengawasan terhadap lembaga penegak hukum. Akibatnya, penanganan kasus bersifat diskriminatif, hanya terhadap laporan tertentu saja.
KPK, kata Dadang, perlu memonitor lembaga penegak hukum lain dan melakukan pengawasan terhadap penanganan perkara. “Laporan meningkat itu salah satu indikasi. Tetapi apakah banyak koruptor yang diadili, itu indikasi yang lain, pungkas Dadang.(*arya)